MEDAN, BENTENGTIMES.com – Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak, Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh.
Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda maupun perusahaan-perusahaan luar negeri lainnya.
Pada masa ini Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat terlihat dari semakin kayanya pihak kesultanan berkat usaha perkebunan, terutamanya tembakau, dan lain-lain.
Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu, misalnya Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.
Tembakau Deli merupakan komoditas unggul yang sangat bernilai jual di dunia internasional saat itu. Kemajuan perkebunan tembakau Deli berawal pada tahun 1862 ketika perusahaan Belanda, JF van Leuween, mengirimkan ekspedisi ke Tanah Deli yang kala itu diwakili oleh Jacobus Nienhuys.
Setiba di Deli, mereka menemukan lokasi yang masih perawan, dimana Deli saat itu adalah dataran rendah berawa-rawa dan mayoritas ditutupi hutan-hutan primer.
Usaha awal ini gagal, JF van Leuween pun memutuskan mundur setelah membaca laporan tim perusahaan. Tetapi Jacobus Neinhuys tidak putus asa. Setelah mendapat konsesi tanah dari Sultan Mahmud Al Rasyid, Neinhuys menanam tembakau di Tanjung Spasi.
Kali ini usahanya berasil. Contoh daun tembakau hasil panen yang dikirim ke Rotterdam diakui sebagai tembakau bermutu tinggi. Sejak itulah tembakau Deli yang bibitnya diperkirakan berasal dari Decatur County, Georgia, Amerika Serikat menjadi terkenal.
Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan yang didirikan oleh Jacobus Neinhuys, P.W. Jenssen, dan Jacob Theodore Cremer, pada tahun 1870 telah berhasil mengekspor tembakau sedikitnya 207 kilogram.
Pada tahun 1883 perusahaan ini mengekspor tembakau Deli hampir 3,5 juta kilogram, dan ditaksir nilai kekayaan perusahaan ini mencapai 32 juta gulden pada tahun 1890.
Puncaknya pada awal abad ke-20, ketika Deli Maatschappij tampil sebagai “raja tembakau Deli”. Diperkirakan lebih 92 persen impor tembakau cerutu Amerika Serikat berasal dari Kesultanan Deli.
Sultan Ma’moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem pemerintahan dan perekonomian.
Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan adalah pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan internasional.
Hubungan tersebut hanya sebatas antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin memperluas lahan yang telah ada.
Pihak Belanda kemudian melakukan negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan.
Dana melimpah kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan, pertanian, perkebunan dan lainnya.
Berlanjut ke masa pendudukan Jepang, tepatnya tanggal 12 Maret 1942, pasukan Imperial Guard (pasukan penjaga kaisar yang sangat terlatih dan terpilih) berlabuh di Perupuk Tanjung Tiram (Kabupaten Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono. Dari sana mereka segera menuju Medan.
Sementara itu pasukan KNIL dan Stadwacht Belanda berhasil melarikan diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas). Tetapi di tengah jalan banyak orang-orang pribumi yang merampas pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung masing-masing.
Karena sisa pasukanBelanda yang 3.000 orang itu tidak akan sanggup melawan pasukan Jepang sebanyak 30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman perang, maka pada tanggal 29 Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang.
Sejak direbutnya Malaya, Singapura dan Sumatera oleh Bala Tentara ke-25 Jepang, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh markas Bala Tentara ke-25 yang berkedudukan di Singapura.
Sampai sekitar April 1943, kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh Bala Tentara ke-25 sebelum akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi Sumatera dan Malaya/Singapura terpisah.
Di Sumatera, Jepang hampir-hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada. Setiap Residen disebut Syu dan di bawah pengawasan seorang pejabat militer yang disebut Gunseibu.
Eksistensi kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke-25 membagi Sumatera Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang, yaitu sekitar Binjai (Padang Brarang), Sungai Karang (Galang), Dolok Merangir, Kisaran dan perkebunan Wingfoot.
Dan, pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan, terjadilah revolusi sosial Sumatera Timur. Ini adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis terhadap penguasa kesultanan-kesultanan Melayu.
Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem monarkidengan alasan antifeodalisme.
Karena sulitnya komunikasi dan transportasi, berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatera serta Mr Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka) Medan pada tanggal 6 Oktober 1945.
Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan.
Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Beberapa kelompok bangsawan tidak begitu antusias dengan pembentukan republik, karena setelah Jepang masuk, Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh.
Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik.
Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan sultan yang mendukung kelompok pro-republik, seperti Amir Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan Serdang.
Sementara itu, pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur agar sistem pemerintahan swapraja dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan.
Namun pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan secara kooperatif untuk membujuk beberapa bangsawan dan kubu radikal (yang didukung kaum komunis) yang menginginkan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.
Revolusi oleh kaum radikal akibat hasutan kaum komunis pecah pada Maret 1946. Berawal di Kesultanan Asahan, revolusi menjalar ke seluruh monarki Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Deli.
Istana Sultan Deli (Istana Maimun) beserta Sultan dan para bangsawan berhasil terlindungi karena penjagaan TRI dan adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan.