BENTENGTIMES.com – Pada 15 Mei 77 tahun silam, pemerintah Belanda secara resmi menyerah kepada Nazi-Jerman. Keputusan tersebut diambil setelah pihak Belanda pesimis memenangkan pertempuran melawan pasukan Jerman dan menghindari korban sipil lebih banyak.
Lima hari sebelumnya, pasukan Jerman memulai serangannya terhadap kota pelabuhan Rotterdam. Begawan ekonomi Indonesia Soemitro Djojohadikusumo ingat betul hari ketika serangan Jerman itu dimulai. Saat itu dia sedang menggarap disertasi di kamar kosnya. Tak berapa lama kemudian, pesawat-pesawat Luftwaffe Jerman membombardir kota. Bukan hanya kamar kos beserta isinya yang hancur berantakan akibat pemboman itu, nyawa Soemitro juga nyaris melayang.
Menurut Richard Overy dalam The Bombing War: Europe, 1939-1945, “Prioritas Jerman adalah merebut bandara-bandara Belanda dan titik-titik kunci komunikasi, yang secara umum tercapai, meski dengan bayaran tinggi.”
Mereka menggunakan taktik yang bertumpu pada tiga kekuatan: bombardir udara, serangan pasukan para, dan serangan darat. Akibat serangan kilat Jerman itu, Rotterdam luluh lantak.
“Seperti pemboman Warsawa, operasi terhadap Rotterdam memakan korban sipil sangat banyak karena tentara Belanda memilih untuk mempertahankan wilayahnya ketimbang mendeklarasikan ′kota terbuka′ atau menyerah. Dalam dua hal, kerusakan dan kematian amat besar, juga disebabkan oleh tembakan artileri,” tulis Overy.
Tak hanya warga Belanda, orang-orang Indonesia yang tinggal di sana pun ikut susah. Selain komunikasi dengan orangtua di tanah Hindia Belanda terputus, mereka juga tak lagi dapat jaminan sosial. Keamanan diri mereka juga terancam dan mereka juga jadi dihinggapi rasa takut.
Anak Agung Made Djelantik merasakan betul bagaimana ketakutan membuatnya tersiksa. Dia dan teman-temannya harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari penangkapan Gestapo, dinas rahasia Nazi, yang membuat kuliahnya berantakan. Ancaman penangkapan itu merupakan buah dari penolakan Djelantik dan teman-temannya menerima formulir kesetiaan kepada Hitler.
Ketakutan terbesarnya datang saat dia berusaha menyelamatkan seorang temannya yang Yahudi. Pada gerbong keretapi yang dia dan temannya tumpangi, tiga personil Gestapo naik dari sebuah stasiun. Mereka duduk tepat di seberang Djelantik. Tubuhnya langsung bergetar hebat. Ketika kereta berhenti di stasiun berikutnya, Djelantik akhirnya turun dan disusul temannya yang sepanjang perjalanan dengan pura-pura membaca koran untuk menutupi wajahnya. Keduanya selamat.
Namun solidaritas pada bangsa Belanda yang diduduki Nazi-Jerman justru mendorong sebagian pemuda-pemuda Indonesia melancarkan perlawanan terhadap tentara fasis itu. Mereka seakan lupa kalau Indonesia, bangsa mereka, justru sedang menghadapi penjajahan Belanda.
“PI (Perhimpunan Indonesia, red) sebagai wakil dari pergerakan nasional Indonesia melihat perjuangan hak untuk menentukan kemerdekaan Indonesia berhubungan dengan perjuangan melawan kekuatan totaliter di Eropa dan di Asia. Oleh sebab itu PI mengadakan perlawanan terhadap Nazi Jerman dengan bekerjasama erat dengan gerakan perlawanan Belanda,” tulis Soebadio Sastrosatomo dalam Perjuangan Revolusi.
Bentuk perlawanan mereka beragam, mulai spionase hingga perlawanan bersenjata. Soemitro, yang kesal terhadap Nazi karena disertasinya berantakan, bergabung dengan gerakan bawah tanah bersama teman-temannya di kelompok studi mereka, seperti Zairin Zain dan Kusna Puradireja. Selain kerap melakukan sabotase, mereka juga menerbitkan brosur propaganda melawan fasisme sembari juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Selain Soemitro, ada Irawan Soedjono yang seorang mahasiswa Universitas Leiden (baca Pemuda Indonesia Berperang Melawan Nazi). Putra Raden Adipati Ario Soedjono itu selain aktif menerbitkan surat kabar anti-fasis De Bevrijding juga ikut angkat senjata melawan fasis dengan bergabung ke dalam pasukan bawah tanah bernama Barisan Mahasiswa Indonesia. Dua kali dia berhasil lolos dari razia pasukan Jerman. Namun, dia akhirnya tewas ditembak pasukan Jerman setelah berusaha melarikan diri menggunakan sepeda sambil membawa mesin stensil pada 13 Januari 1945.
Jusuf Muda Dalam (wakil ketua Perhimpunan Indonesia semasa kepemimpinan Maruto Darusman, di kemudian hari menjabat Menteri Urusan Bank Sentral di pemerintahan Sukarno) juga melakukan hal yang sama dengan Irawan, angkat senjata. Mahasiswa Handelhogeschool, Rotterdam itu yang terkenal pemberani itu bertugas sebagai penembak senapan mesin. Menurut Soemitro, sebagaimana ditulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang Kiri di Persimpangan Kiri Jalan, Jusuf pernah menembaki konvoi pasukan Jerman.
Soeripno memegang peran penting dalam perjuangan bersenjata pemuda Indonesia di Belanda. “Ia seorang yang brilian, aktif, sopan, dan simpatik. Ia adalah seorang idealis dan berasal dari keluarga ningrat,” tulis Gie. Selain aktif menerbitkan publikasi bawah tanah Bevrijding bersama Nazir Pamuncak, Soeripno juga mendapat kepercayaan memimpin perlawanan fisik. Dia lalu mendirikan Barisan Mahasiswa, pasukan paramiliter yang terdiri dari empat regu, tiap regu berisi sepuluh pemuda.
Meski dia mengundurkan diri dua minggu kemudian, pasukan bentukannya tetap utuh dan terus melawan fasis. “Para anggota kelompok itu menamakan dirinya dari nama pahlawan nasional Untung Soerapati, sedangkan kesatuannya diberi nama Knokploegen (KP) atau Barisan Tangan Besi,” tulis Hendri F Isnaeni dalam “Takdir Si Henk dari Pembebasan”.
Atas jasanya membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman, beberapa mahasiswa seperti Soemitro ataupun LN Palar diberi kehormatan pemerintah Belanda dengan jabatan sebagai anggota parlemen atau anggota delegasi resmi ke rapat PBB. Sementara itu Irawan Soedjono namanya diabadikan menjadi nama jalan.
Setelah Jerman kalah perang banyak dari mereka, seperti Palar, menolak “hadiah” itu karena berlanjutnya kolonialisme Belanda atas Indonesia.
“Sejalan dengan ucapan gamblang dan janji yang khidmat dari Paduka Yang Mulia Ratu, dan bertolak dari putusan yang diambil oleh Kongres Rakyat Indonesia tahun 1939 bahwa dengan demikian suara dari seluruh gerakan nasional diwakili, maka Perhimpunan Indonesia menyatakan harapan dengan tegas, baik di Negeri Belanda maupun Indonesia, agar status kolonial secara definitif ditiadakan,” ujar pengurus Perhimpunan Indonesia dalam pernyataan resminya kepada pemerintah Belanda, sebagaimana dimuat Harry Poeze dalam buku Di Negeri Penjajah.