JAKARTA, BENTENGTIMES.com– Dualisme kepemimpinan partai politik bukan sekali ini terjadi di tanah air. Beberapa partai tercatat juga pernah mengalami konflik internal yang berujung perpecahan dan menggugat ke pengadilan.
Sebagaimana Partai Demokrat, sedikitnya lima partai politik di tanah air juga pernah diterpa konflik internal.
Sejak era reformasi, partai berlambang pohon beringin ini beberapa kali dihantam konflik internal. Perpecahan itu lalu menelurkan partai-partai baru.
Pada 1998, dua partai politik baru terbentuk pasca munas (musyawarah nasional), yakni Partai Karya Peduli Bangsa dan Partai Keadilan dan Persatuan, sekarang menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Baca: Terpilih Jadi Ketum Demokrat Versi KLB, Moeldoko: Saya Terima, Terima Kasih
Baca: Jokowi: Kaderisasi Tidak Bisa Dikerjakan Sambil Lalu
Setelah Munas Golkar 2004, dari rahim Golkar kemudian lahir dua partai politik, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) besutan Prabowo Subianto dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) bentukan Wiranto.
Kemudian pasca Munas Golkar 2009, terbentuk organisasi massa Nasional Demokrat, yang kini menjelma menjadi Partai NasDem. Partai ini didirikan Surya Paloh.
Lalu, pada 2014, perpecahan kembali terjadi di tubuh Golkar dan melahirkan dua kubu.
Kubu pertama adalah pimpinan Aburizal Bakrie yang terpilih dari Munas di Nusa Dua, Bali, dan pimpinan Agung Laksono dari hasil Munas Jakarta.
Konflik di partai berlambang pohon beringin itu dipicu oleh penetapan jadwal munas yang dianggap tidak demokratis.
Konflik internal PKB tidak terlepas dari perseteruan antara Presiden keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan keponakannya, Muhaimin Iskandar atau yang biasa disapa Cak Imin.
Pada 2007-2008, Cak Imin yang saat itu menjabat Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB berseteru dengan Gus Dur sebagai Dewan Syuro PKB.
Baca: Mahfud MD: Pemerintah Tidak Bisa Intervensi KLB Demokrat
Baca: Niat Jokowi Revisi UU ITE, Ini Peta Dukungan Fraksi di DPR
Lalu, Gus Dur memecat Cak Imin sebagai Ketua Umum PKB. Pemecatan Cak Imin dari Ketua Umum PKB kala itu melalui rapat pleno Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz PKB.
Tapi, Cak Imin tak terima dengan pemecatan itu. Dia menggelar Musyawarah Luar Biasa di Hotel Mercure Ancol.
Acara ini digelar sehari setelah kubu Gus Dur menggelar Musyawarah Luar Biasa pada 30 April-1 Mei 2008, bertempat di Parung, Bogor.
Dalam kepengurusan hasil MLB Ancol itu, posisi Gus Dur dilengserkan dan digantikan Aziz Mansyur. Lalu, konflik pun berlanjut ke pengadilan. Belakangan, pemerintah kala itu mengesahkan kepengurusan Cak Imin.
Partai berlambang Kabah ini juga dirundung persoalan internal pada 2014. PPP kubu Muktamar Jakarta memilih Djan Faridz sebagai ketua umum. Sementara, Muktamar Surabaya memenangkan Romahurmuziy.
Djan Faridz menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menang hingga tingkat kasasi.
Baca: Gejolak Pro Kontra UU Omnibus Law, Ferdinand Hutahaean Mundur dari Demokrat
Baca: PDIP Pastikan Puan Maharani Jabat Ketua DPR RI, Pertama Sepanjang Sejarah
Djan Faridz kalah di peninjauan kembali. Perpecahan pun berlanjut.
Pada 2018, Djan Faridz mundur dari jabatan Ketua Umum PPP Muktamar Jakarta dan digantikan Humphrey Djemat.
Partai politik sempalan Golkar ini juga pernah dirundung konflik internal. Konflik pertama melahirkan dualisme kepemimpinan, antara kubu Oesman Sapta Odang (Oso) dengan Daryatmo.
Konflik Hanura memanas setelah Ketua Umum Oesman Sapta Odang dipecat oleh Hanura kubu Sekretaris Jenderal Sarifuddin Sudding.
Keputusan itu diambil melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang melibatkan 27 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan 401 Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Munaslub diklaim telah mendapat restu dari Wiranto.
Baca: Soal Isu Kudeta Demokrat, Djarot: Maaf, Ini Menunjukkan Kelemahan Mas AHY
Baca: Bupati Labura dan Mantan Wakil Bendahara Umum PPP Ditahan KPK
Konflik kemudian berlanjut dan terjadi antara Oso dan Wiranto.
Kubu Wiranto menolak mengakui OSO sebagai Ketua Umum Hanura yang terpilih secara aklamasi dalam Musyawarah Nasional Hanura III, pada 18 Desember 2019.
Namun, Wiranto akhirnya memutuskan mundur sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) karena ingin fokus pada tugas baru sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
Terakhir, Partai Berkarya. Meski terbilang baru lahir, partai politik besutan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, itu juga pernah mengalami perpecahan.
Konflik ini melahirkan kubu Tommy dan Muchdi Pr.
Baca: Bah, Politisi Batak Ini Diduga Terlibat Upaya Kudeta di Demokrat
Baca: Abdul Wahab Dalimunthe Anggota DPR RI Tertua: Mantan Bupati Taput, Pernah Dipecat Golkar
Kubu Muchdi Pr menggelar musyawarah nasional luar biasa pada 11-12 Juli 2020 di Jakarta. Dalam forum itu, dia didapuk sebagai ketua umum.
Tak berselang lama, Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan surat keputusan Nomor: M.HH-17.AH.11.01 Tahun 2020 yang mengesahkan kepengurusan Muchdi Pr.
Tapi, Tommy tidak tinggal diam. Anak Presiden Soeharto itu pun menggugat keputusan Yasonna.
Hasilnya, pada 17 Februari 2021, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Tommy atas kepengurusan Partai Berkarya.
Sekadar diketahui, Kepengurusan Partai Demokrat telah terbelah setelah beberapa kader senior mengadakan kongres luar biasa atau KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Jumat, 5 Maret 2021.
Dalam KLB itu, muncul nama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebagai ketua umum. KLB itu juga menyatakan Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono telah demisioner.
Baca: Dipecat Demokrat, Berikut Rentetan ‘Serangan’ Jhoni Allen Marbun ke SBY
Baca: Membidik Peluang Tommy Soeharto dan Partai Berkarya di Pemilu
Menanggapi hal itu, Agus Harimurti Yudhoyono menegaskan bahwa kongres luar biasa Demokrat di Deli Serdang tidak sah karena tidak memiliki dasar hukum yang sah.
“KLB ini jelas tidak sah, ada yang mengatakan bodong, ada yang mengatakan abal-abal, yang jelas terminologinya ilegal dan inkonstitusional, karena KLB tersebut tidak memiliki dasar hukum partai yang sah,” tegas AHY.