MEDAN, BENTENGTIMES.com– Perhelatan pemilu serentak yang akan digelar sebentar lagi, menjadikan bangsa Indonesia saling mencurigai satu sama lain dan sebagian kalangan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Termasuk dengan menggunakan politik identitas dan penyebaran berita bohong (hoaks).
Hal tersebut disampaikan Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam acara temu ramah bersama para jurnalis di Medan, Jumat (8/2/2019). Mahfud yang juga menjabat Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan itu mengungkapkan, telah menemukan gejala yang serius terhadap keutuhan bangsa menjelang pemilu.
“Saya berharap jelang pemilu tidak ada yang memakai politik identitas dan penyebaran berita bohong,” katanya.
Ia menegaskan, pihaknya akan membedah seluruh gejala-gejala politik dan solusinya pada acara Gerakan Suluh Kebangsaan yang akan diadakan di Four Points Hotel Medan, Sabtu (9/2/2019).
Terkait politik identitas, menurut Mahfud MD, salah satu gejala yang telah ditemukan dan dirasakan yakni penggunaan politik yang sarat dengan primordialisme sehingga membuat bangsa Indonesia semakin surut ke belakang.
“Jangan sampai setelah pemilu ini kita sama-sama menyesal karena setelah pemilu banyak mempunyai musuh. Pemilihan umum ini hakikatnya persaingan platform antarpartai, bukan menjadikan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) menjadi senjata,” sebut Mahfud.
Mahfud menyebut, pertentangan yang terjadi akhir-akhir ini ialah pertarungan antar ideologi.
“Sekarang ada pihak yang merasa paling ideologis dan menyudutkan pihak lain sambil menimbulkan pertentangan yang sangat dalam,” ucapnya.
Baca: Mahfud MD: Aktif di HMI, Tim Pemenangan Prabowo Hingga Menjadi Cawapres Jokowi
Sejak pemilu 1955 dulu, lanjut Mahfud, hingga pemilu 2014 kemarin belum ada pertentangan yang sangat dalam seperti sekarang. Saat ini, menurut Mahfud banyak orang yang tidak memedulikan keutuhan bangsa demi kepentingan pribadi.
Ia juga sempat mengkritik segelintir orang yang menimbulkan praduga terhadap KPU berpihak pada pemerintah.
“Ini bukan zaman orde baru, di mana pada zaman itu pemerintah sangat diduga melakukan penyelewengan,” ucapnya.
Pada masa orba, sebut Mahfud, penyelenggara pemilu yakni Lembaga Pemilihan Umum (LPU) diketuai oleh Mendagri dengan pengawasnya Jaksa Agung.
“Saat ini, KPU dipilih secara independen oleh DPR dan berdiri sendiri. Saat ini juga ada Bawaslu yang bisa menindak segala kecurangan. Apabila KPU dan Bawaslu menyeleweng, maka ada DKPP yang menindaknya,” terangnya.
Berbeda dengan masa orde baru, menurut Mahfud terjadi pengkerdilan partai di mana Partai Demokrasi Indonesia (PDI) saat itu pernah hanya mendapat 10 kursi di DPR.
“Padahal saat itu komisi DPR ada 11, sehingga di dalam undang-undang mengharuskan perolehan partai minimal satu kursi per komisi. Namun PDI saat itu digembosi,” ungkapnya.
Kejadian tersebut menurut Mahfud sangat sulit terjadi saat ini karena ada elemen yang mengawasi, termasuk media massa dan pemantau pemilu.
“Dulu tidak ada survey dan hitung cepat. Jauh-jauh hari orang sudah tahu siapa yang akan menang,” pungkasnya.
Dikatakan saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud beserta jajarannya pernah membatalkan kemenangan 72 orang caleg yang menurutnya terbukti melakukan penyelewengan. Tak hanya itu, Mahfud menyayangkan oknum-oknum elit politik yang menghalalkan segala cara untuk memenangi kontestasi pemilu.
“Semuanya ingin menang sampai menghalalkan cara termasuk politik identitas dan penyebaran hoaks. Ada juga yang melakukan kekerasan politik, baik ancaman psikis dan teror,” katanya.
Baca: Dinamika Mahfud MD Jauh Lebih Beradab Daripada Politik Mahar
Bagi pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957, itu Indonesia telah banyak menuai pujian dari dunia internasional karena persatuan dan toleransi yang diterapkan.
“Jangan dirusak, hanya karena ingin menang,” pungkasnya.