MEDAN, BENTENGTIMES.com – Walikota Siantar Hefriansyah mengungkapkan curahan hatinya tentang gejolak isu penistaan suku yang akhir-akhir ini mengemuka di Kota Pematangsiantar. Hefriansyah mengaku sedih dituduh melakukan penistaan terhadap etnis tertentu di Kota Pematangsiantar.
“Baru-baru ini dibilang pula menghina salah satu etnis. Padahal, apa yang dituduhkan, tidak pernah saya lakukan,” ucap Hefriansyah saat menyampaikan kata sambutan dalam Pelantikan dan Mukerwil I Pemuda Muslimin Indonesia Sumatera Utara, bertempat di Hotel Madani, Jumat (11/5/2018).
“Di situlah kadang-kadang membuat hati saya sedih,” ujarnya. Meski demikian, sambung Hefriansyah, dia tetap amanah dan istiqomah menjalankan tugas sebagai Walikota Pematangsiantar.
“Saya selalu berdoa, kepada saudara-saudara saya agar diberi hidayah,” ucapnya.
(BACA: Ingkar Janji, Hefriansyah Kembali Dinilai Tak Hargai Etnis Simalungun)
Menurutnya, isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) salahsatu topik yang tak baik untuk diperdebatkan. Sebab, jika dibiarkan terus menerus, bisa merusak kebersamaan dan tali persaudaraan yang sudah terjalin selama ini.
“Ini tak usah lagi dibicarakan. Rusak nanti kita. Rusak persaudaraan kita,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini gelombang massa dari berbagai elemen masyarakat tumpah ruah di jalanan. Mereka mendesak DPRD Kota Pematangsiantar untuk segera membentuk Pansus (Panitia Khusus) Pemakzulan Walikota Siantar atas tuduhan pelecahan terhadap suku Simalungun.
Adapun lembaga yang mendesak pemakzulan terhadap Hefriansyah, antara lain DPC Partuha Maujana Simalungun (PMS), Ikatan Keluarga Islam Simalungun (IKEIS), DPP KNPSI, DPC Himapsi Siantar, Ihutan Bolon Damanik, Ihutan Bolon Purba Dasuha (IKBPD-BP), DPP Harungguan Sinaga (HSBP), Husiphon (Humpulan Sipayung).
(BACA: Tuntutan Warga Etnis Simalungun Didukung Himpunan Masyarakat Batak Toba)
Belakangan dukungan datang dari Humatob dan Preman (Persatuan Remaja Mandailing) dan yang lainnya.
Ada beberapa poin yang mereka protes. Pertama, soal program kota pusaka oleh Walikota Pematangsiantar. Sebagaimana dicatatkan Jan Wiserdo Sumbayak, dalam akun Facebooknya, kesan membuat Suku Simalungun jadi pusaka mereka catatkan dari beberapa niat dan praktek yang dilakukan.
Pertama, Pemko Siantar tak pernah menyampaikan dan menyosialisasikan Pematangsiantar bagian dari program Kota Pusaka dan tak ada satu keputusan hukum atau keputusan apapun yang menetapkan Pematangsiantar sebagai kota pusaka.
Kedua, niat membuat Suku Simalungun jadi pusaka terlihat jelas dari gambar yang memperlihatkan sebuah rumah adat Simalungun yang kecil ‘Jabu Utte Jungga’, yang biasanya ditempati hulu balang raja dan rumah adat ini sudah terbakar pada bulan Mei 2017.
“Jadi rumah ini hanya tinggal sejarah, sudah jadi pusaka,” tulis Jan Wiserdo dalam akun Facebooknya 3 Mei 2018.
(BACA: Penistaan Simalungun: DPRD, Gubsu, Mendagri dan Presiden akan Disurati untuk Pemakzulan Walikota)
Ketiga, rumah adat yang kecil dan sudah terbakar tersebut dikelilingi tujuh adat budaya lain sama sekali tidak ada menampilkan adat dan budaya suku Simalungun.
“Jika memang ada niat menghargai suku Simalungun, di tengah kota Pematangsiantar ada rumah adat yang masih berdiri kokoh dan besar Museum Simalungun, mengapa bukan itu yang ditampilkan?” tulisnya.
Dari gambar tersebut, sambung Jan Wiserdo, dapat diartikan bahwa Suku Simalungun dianggap sudah tidak ada lagi, sudah tinggal pusaka. Yang ada saat ini hanya rumah adatnya yang sudah terbakar dan tidak ada lagi adat budaya Simalungun.
Keempat, ternyata niat membuat Simalungun jadi pusaka dikerjakan hampir di semua lini. Simalungun harus melihat ini dengan jiwa, darah dan bathin jangan melihat dengan rupiah.
Kemudian, protes penyambutan kedatangan Presiden dan Oikumene hiou yang dipakai bukan hiou Simalungun , saat festival lagu daerah antar sekolah yang dipertandingkan bukan lagu daerah Simalungun.