JAKARTA, BENTENGTIMES.com– Pendeta Wilhelmus Latumahina telah tiada. Pencipta lagu rohani ‘Hidup Ini Adalah Kesempatan’ itu meninggal dunia di Rumah Sakit Sari Asih Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (12/5/2020). Wilhelmus Latumahina tutup usia 64 tahun.
Kabar duka ini juga disampaikan Efrem Gaho melalui salah satu media sosialnya. Efrem juga mendoakan, semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.
“Turut berdukacita. Pencipta Lagu Rohani ‘Hidup Ini Adalah Kesempatan’ Bapak Pdt Wilhelmus Latumahina telah berpulang ke pangkuan Bapa di Surga. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan penghiburan kasih. Amin…,” tulis Efrem melalui akun FB milik pribadinya.
Berita duka ini juga disampaikan Jemmy Janury melalui akun FB milik pribadinya di Group ‘INSPIRASI ALKITABIAH’.
“RIP Pdt Wilhelmus Latumahina, Pendeta GBI Perwil 3 Banten, ketua umum PMKIT (Persatuan Masyarakat Kristen Indonesia Timur) dan juga pencipta sekaligus penyanyi lagu ‘Hidup Ini Adalah kesempatan’ versi asli. Lagu ini diciptakan setelah sang anak meninggal karena kecelakaan…” tulis Jemmy.
Semasa hidup, Pdt Wilhelmus Latumahina dikenal lewat lagu-lagu rohani yang beliau ciptakan. Salahsatu lagu ciptaannya yang sangat viral adalah ‘Hidup Ini Adalah Kesempatan’.
Jenazah Pdt Wilhelmus Latumahina disemayamkan di GBI Bethesda, Jalan Sarua Raya Nomor 29, Tangerang Selatan, Banten. Selamat jalan Pdt Wilhelmus Latumahina, Istirahatlah dalam damai.
Informasi diperoleh, Pdt Wilhelmus Latumahina meninggal karena sakit jantung. Di masa hidupnya, almarhum adalah gembala sidang GBI Bethesda dan Pengurus GBI Perwil 3 Banten. Selain itu, dia adalah Ketua Umum Persatuan Masyarakat Kristen Indonesia Timur (PMKIT).
Pergolakan Batin di Balik Terciptanya Lagu ‘Hidup Ini Adalah Kesempatan’
Kisahnya di tahun 2004. Anak sulung Pendeta Wilhelmus, bernama Samuel Latumahina meninggal dunia dalam kecelakaan. Belum pulih duka cita atas kepergian anaknya, menyusul anak sekolah minggunya, anak dari jemaat terjatuh dari sepatu roda dan meninggal dunia.
Baca: Ingat, Ibadah dan Ritual Peribadatan Tidaklah Sama
Kisah inilah mengawalinya mengarang lagu. Hidup memang rapuh. Tak ada yang patut dijumawakan.
“Jadi, pembuatan lagu ini adalah kisah nyata hidup saya. Dilatarbelakangi saat anak saya meninggal di umur 17 tahun. Masih dalam suasana batin berduka, dua minggu kemudian saya juga menghadapi kenyataan hidup, anak dari jemaat saya umur delapan tahun meninggal hanya kerena terpelanting ketika menggunakan sepatu roda. Hanya jatuh saja, tetapi meninggal,” kata Pendeta Wilhelmus dalam suatu kesempatan kepada salahsatu tabloid terbitan Jakarta.
Wihelmus awalnya memang bukan pengarang lagu, ia menyebut dirinya hanya seorang pemuji.
“Saya ini pendeta pemuji. Kalau penyayi semua yang punya talenta pintar menyanyi, tetapi kalau orang yang menetapkan diri pemuji adalah orang yang menyadari penyertaan Tuhan berlaku dalam hidupnya,” kata Wilhelmus semasa hidupnya.
Wihelmus tak terus menyalahkan keadaan. Dia justru menyadari bahwa jika masih diberi kesempatan berarti waktunya menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan.
Menurut Wihelmus, pemantiknya adalah kecelakaan lalu lintas itu. Satu waktu dalam keheningan, dia melakukan perenungan hidup dan mengalirlah rangkaian kalimat di pikirannya ‘Hidup Ini Adalah Kesempatan’.
“Ada tenggang waktu yang Tuhan beri buat kita. Artinya, ada batasnya. Tidak selamanya kita muda. Tidak selamanya kita kuat. Tidak selamanya kita jaya. Tidak selamanya kita hidup berdaya dan berjaya,” ujar Wihelmus.
Waktu mengarang lagu itu, ia mengaku berlinang air mata. Saat itu seperti ada suara di relung hatinya. Terbingkailah syair-syair yang terinspirasi dari Mazmur 103: 15-16 berbunyi; ‘Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang, demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi dia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.’
Dari bait itulah kemudian tercipta syair:
‘Hidup Ini Adalah Kesempatan/
Hidup ini untuk melayani Tuhan/
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan beri/
Hidup ini hanya sementara/
Sekuntum bunga di pagi hari/
Mekar indah harum di padang yang hijau/
Demikian Tuhan mendandani rumput/
Gugur bunga bila panas terik/
Reff:
O.. Tuhan pakailah hidupku/
Selagi aku masih kuat/
Satu saat aku tak berdaya/
Hidup ini sudah jadi berkat/
Wihelmus sangat menyadari, kesempatan yang ada memberi peringatan bahwa menit-menit, hari ke hari, minggu ke minggu bahkan tahun berganti tahun adalah waktu yang menentukan kekekalan.
“Surga yang kekal ataukah neraka yang kekal. Untuk itu, waktu yang Tuhan beri merupakan kesempatan yang terbaik untuk berbuat bakti dan melayani Tuhan, sehingga hidup ini tidaklah menjadi sia-sia.’
Pesan moral lagu ini jelas, selagi masih ada kesempatan temukanlah makna hidup. Baginya, orang yang menemukan makna di kehidupan adalah orang yang selalu menyadari bahwa kesempatan yang ada harus diraih dengan sungguh-sungguh.
Sempat Berkarier di Departemen Pajak
Pendeta Wilhelmus Latumahina berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang tentara tetapi juga pemusik di gereja. Dia merasa bahwa DNA musikalitas turun dari sang ayah.
Ayahnya Abraham Oktavianus Latumahina, tentara sejak dulunya bertugas di Makassar. Ibunya bernama Aksa, hanya ibu rumah tangga biasa.
Baca: Spontanitas Pendeta Neltiana Bersama Marturia GBKP Berastagi Kota di Hari Paskah
Almahurm Pendeta Wilhelmus lahir pada 2 November, 1955. Sebelum menjadi pendeta, ia justru adalah pegawai negeri. Lulus kuliah di perguruan tinggi Pajak, lalu berkarier di Departemen Pajak. Bahkan, ia sempat menjadi kepala cabang di sana.
Tetapi, kariernya di Pajak tak membuatnya merasa sejahtera. Di Pajak banyak uang. Tetapi, terasa tak damai sejahtera. Di sisi lain, ada kerinduan melayani.
Pendek cerita, dia mengundurkan diri lalu terjun ke pelayanan. Sejak menetapkan diri jadi pelayan di Makassar, dia kemudian mendirikan gereja dari kayu, seperti bangunan darurat, di Desa Togo.
Sementara untuk memperdalam pemahamannya akan firman Tuhan, dia kemudian meninggalkan Makassar dan berangkat Sekolah Alkitab ke Beiji di Batu Malang.
Di Batu-Malang, ia juga berjumpa dengan seorang gadis Tondano sama-sama siswa di Sekolah Alkitab bernama Sonia Koli. Keduanya pun berpacaran. Setelah lulus kuliah, mereka menikah dan kembali memulai pelayanan di Jakarta.
Di Jakarta sembari merintis gereja, sembari terus menambah pemahaman teologianya dan kuliah di STT Jaffray Jakarta.
Baca: Ringankan Beban Hadapi Pandemi, Budi Sembiring Salurkan Donasi kepada Pendeta GBKP
Dari pernikahannya, lahirlah Samuel Latumahina, yang di umur 17 tahun Tuhan panggil ke sisiNya. Anak kedua seorang putri bernama Mona Debora Latumahina, anak ketiga Renhard Latumahina, dan yang terakhir Revi Arnes Latumahina menjadi pendeta. Kini, ketiga anaknya aktif melayani di gereja.