JAKARTA, BENTENGTIMES.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi (IHP) yang juga mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera sebagai tersangka baru dalam kasus korupsi e-KTP. Irvanto ditetapkan bersama kolega Setnov, Made Oka Masagung.
Sebagai tersangka baru e-KTP, lembaga antirasuah menduga Irvanto menampung uang dari keuntungan proyek e-KTP yang diperuntukan kepada Setnov. Aliran uang kepada Setnov dilakukan secara berlapis melewati sejumlah negara.
“Diduga IHP menerima total US$3,5 juta pada periode 19 Januari-19 Februari 2012 yang diperuntukan kepada Setnov secara berlapis melewati sejumlah negara,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Irvanto sejak awal mengikuti proses pengadaan e-KTP milik Kementerian Dalam Negeri lewat PT Murakabi Sejahtera. Dia yang sudah beberapa kali diperiksa sebagai saksi itu juga sempat mengikuti pertemuan di Ruko Fatmawati atau biasa disebut Tim Fatmawati.
Menurut Agus, pihaknya menduga meski PT Murakabi Sejahtera kalah, namun perusahaan yang dipimpin Irvanto tersebut merupakan perwakilan Setnov dalam kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Irvanto juga disinyalir sudah mengetahui sejak awal soal fee sekitar 5 persen dari nilai proyek e-KTP sebesar Rp5,9 triliun untuk anggota DPR periode 2009-2014.
“Konsorsium Murakabi walaupun kemudian kalah diduga sebagai Perwakilan Setya Novanto. Ini diketahui IHP adalah keluarga (Keponakan) Setya Novanto,” ujarnya.
Agus melanjutkan Oka juga disinyalir sebagai penampung dan perantara penerimaan uang dari proyek e-KTP kepada Setnov melalui rekening kedua perusahaannya di Singapura, yaitu OEM Investement Pte Ltd dan PT Delta Energy.
Lewat rekening OEM Investement, Oka menampung uang sebesar US$1,8 juta dari perusahaan Biomorf Mauritius. Sementara itu, pada rekening PT Delta Energy, Oka menerima transfer uang sebesar US$2 juta.
“MOM melalui kedua perusahaannya diduga menerima total US$3,8 juta sebagai peruntukan pada Setnov,” tutur Agus.
“MOM diduga sebagai perantara fee untuk anggota DPR sebesar 5 persen dari nilai proyek tersebut,” kata Agus menambahkan.
Irvanto dan Oka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.