MEDAN, BENTENGTIMES.com– Ketua DPRD Sumut Baskami Ginting menerima aduan masyarakat warga lingkungan IV Repa, Kelurahan Sipolha Horison, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun.
Pengaduan itu terkait penolakan warga atas klaim hutan lindung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan.
Baskami mengatakan, pihaknya akan meneruskan aduan masyarakat tersebut ke Komisi A dan B untuk segera ditindaklanjuti.
“Nanti akan diteruskan ke Komisi A dan B untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat ke depannya agar dibicarakan bersama pihak terkait, dari masyarakat, BPN dan Dinas Kehutanan,” kata Baskami, Jumat (17/12/2021).
Tokoh masyarakat setempat, Theodore Galimbat Bakkara (76) berharap, Baskami dapat menjadi penyambung lidah warga kepada pemerintah.
“Kami mengadu adanya klaim kehutanan di wilayah kampung dan dijadikan hutan lindung. Ini telah meresahkan masyarakat,” kata Theodore.
Baca: Klaim Sepihak KLHK di Sipolha Horison Pematang Sidamanik, Perkampungan Dibikin Hutan Lindung
Baca: Penebangan Liar Merebak di Karo, Hutan Lindung Desa Perbulan Laubaleng Dirambah
Theodore menjelaskan, sebelum ada penetapan hutan lindung, warga telah mengetahui adanya tapal batas antara hutan negara dengan perkampungan warga.
“Kami merasa hak kami diperkosa, karena sebelumnya ada batas register kehutanan dengan perkampungan dan perladangan. Tapi kini, tiba-tiba ada klaim wilayah hutan lindung di perkampungan,” sambungnya.
Warga Sudah Hidup Beregenerasi, Tinggal dan Mengusahai Lahan yang Diklaim jadi Hutan Lindung
Warga Sudah Hidup Beregenerasi, Tinggal dan Mengusahai Lahan yang Diklaim jadi Hutan Lindung
Anehnya, warga merasa heran tiba-tiba ada penetapan hutan lindung di kawasan perkampungan.
Padahal, menurut Theodore, warga sudah hidup beregenerasi, tinggal dan mengusahai lahan yang diklaim jadi hutan lindung tersebut untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Selama ini, wilayah yang diklaim ada yang dihutankan untuk penyuburan, sebagian ditanami cengkeh, ada pula rumah warga, rumah ibadah, dan situs ritual kepada leluhur di sana,” terang Theodore.
Menurut Theodore, penetapan hutan lindung tersebut membuat anggapan bahwa masyarakat yang tinggal wilayah klaim sebagai Margasatwa.
“Kalau hutan lindung itu kan hanya margasatwa yang tinggal di sana. Apakah kami ini dianggap Margasatwa sama pemerintah?” kritik Theodore.
Baca: Walhi Sumut Gugat Izin Lingkungan Proyek PLTA Batang Toru
Baca: Terjadi Penebangan Liar di Hutan Lindung Siosar Merek
Adapun wilayah yang menurutnya diklaim sebagai hutan lindung antara lain: Kampung Binanga Joring, Bandar, Tuktuk Naholhol, Ujung Mauli, dan Repa.
“Harapan kami persoalan ini segera selesai dan pemerintah memutihkan wilayah itu seperti semua. Kalau tidak kami mau ibadah di mana? Mau tinggal di mana? Mata pencaharian kami hilang dan situs lokal juga sirna,” ujarnya.
Respon Kepala Dinas Kehutanan Sumut..
Respon Kepala Dinas Kehutanan Sumut..
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara Herianto, merespon persoalan warga Sipolha yang permukimannya diklaim sepihak menjadi Hutan Lindung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan.
Herianto menjelaskan bahwa pihaknya tetap mengedepankan asas legalitas terkait soal kawasan hutan. Dia menuturkan, memang kawasan hutan itu mengacu kepada SK menteri. Tapi, menurut dia, pihkanya tidak akan mengabaikan hak-hak masyarakat yang ada di dalamnya.
“Hak ketiga itu bisa berupa SKT, SK Camat dan lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau di dalam kawasan hutan itu ada permukimannya, rumah ibadah, sekolah, serta lainnya bisa diakomodir melalui program Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA),” tambah Herianto.
Hak tersebut, lanjut Herianto, bisa dilakukan masyarakat dengan mengajukan ke kepala desa kemudian ke Bupati Simalungun.
Baca: Kejatisu Terima SPDP Alih Fungsi Hutan di Langkat
Baca: Tahun Ini, 11.000 Hektare di Simalungun Akan Dilepas dari Kawasan Hutan
Lalu diverifikasi oleh Dinas Kehutanan setempat, baru diajukan kepada KLHK. Selain TORA, ada juga program Perhutanan Sosial dengan mengikutsertakan masyarakat dalam bentuk kelompok.
“Kelompok itu kemudian menyatakan bahwa lokasi hutan tersebut merupakan sumber penghidupan bersama. Ini akan menjadi program PS,” tutupnya.