Pdt Saut Hamonganan Sirait memaknai ibadah sebagai jalan raya keselamatan. Pendeta Saut Hamonangan Sirait, dosen di Sekolah Tinggi Teologia HKBP Nomensen (STT HKBP Nomensen) Pematangsiantar mengingatkan, ibadah sesungguhnya adalah jalan raya menuju keselamatan.
Ibadah yang dimaksud bukanlah berupa ritus atau ritual di Bait Suci. Teolog Pdt Saut Sirait memberikan penjelasan dengan pendekatan literatur Ibrani terhadap tiga jenis Ibadah. Yakni Tefilla, Tehilim, dan Abudah.
“Perbincangan hangat menyangkut Sembahyang Minggu, masih terus menjadi trending topic. Banyak pihak beranggapan bahwa sembahyang di rumah mengurangi pahala. Bahkan ada yang menganggap tidak memiliki kekuatan legitimasi spiritual,” tutur Pdt Saut Hamonangan Sirait, dalam catatannya, Jumat (27/03/2020).
Sembahyang, yang berasal dari tradisi Hindia, yakni Sembah Hyang, memiliki kesamaan dengan kata tefilla dalam Bahasa Ibrani. Yaitu, merupakan bentuk ritual umum.
Dalam praktik, tefilla selalu mengandung makna tehilim, yaitu unsur nyanyian dalam pelbagai ragam. Baik berupa syair maupun tidak (mamem).
Pdt Saut Sirait melanjutkan, tehilim itu sangat penting untuk pengkondisian atau conditioning, menciptakan suasana batin, emosi, dan jiwa, religiusitas semua orang.
Dalam pelbagai tradisi tua, lanjut Pdt Saut Sirait, tehilim mampu menggiring jiwa seseorang mencapai situasi kesurupan trance. Sesajen dalam makna ‘korban’ hewan dan hasil panen sebagai persembahan, mengalami transformasi dalam bentuk uang.
“Perkiraan kuat, Kerajaan Persia yang memulai adanya mata uang dalam bentuk koin. Pada mata uang itu ada gambar Raja Persia yang dipahami juga sebagai dewa. Para ahli menyatakan bahwa mata uang juga merupakan bentuk penjajahan, terutama secara ekonomis dan religious,” ujar Pdt Saut Sirait, yang merupakan jebolan Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STTJ) ini.
Baca: Kegilaan Rusdi Kirana Terobos Vacuum Cleaner
Dalam tradisi agama Yahudi, lanjutnya, penggantian ke dalam bentuk uang atau emas dimulai pada Tahun 312 SM. Di dalam Makabe 3: 10-11, Imam Agung. “memang ada uang di dalam perbendaharaan rumah Tuhan”. Persembahan dalam bentuk uang kemudian menjadi tradisi pada tefilla.
“Dalam tradisi kekristenan, pada awalnya tefilla dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Yesus yang dihukum mati dalam tatanan hukum imperium Romawi. Itu berakibat pada pengikutnya,” tutur mantan aktivis mahasiswa sebagai Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Jakarta (GMKI Jakarta) ini.
Tiap orang yang terbukti sebagai Pengikut Yesus, dikenakan stigma penganut agama durjana yang ilegal. Status itu mengandung konsekuensi kejam. Seluruh penduduk wajib membunuh alias ‘halal’ darahnya.
Saulus menjadi salah satu aktor utama dalam pembantaian terhadap Pengikut Yesus. Stefanus menjadi salah satu korban pembantaian yang dipimpin Saulus (Kis. 11: 19).
“Keadaan itu memaksa Pengikut Yesus untuk melakukan tefilla dengan sembunyi-sembunyi, di rumah-rumah mereka,” jelas Pdt Saut Sirait, yang juga pernah menjadi aktivis pemuda Kristen di Ketua DPP Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) ini.
Pada perkembangan lanjut, tefilla itu dilakukan dalam bentuk keluarga, menjadi jemaat keluarga. Sejak masa Sinagoge, tefilla menjadi core business-nya.
“Hal inilah yang kemudian diikuti gereja-gereja hingga saat ini. Pemahaman yang dianut semua orang hingga saat ini selalu mengatakan Ibadah Minggu. Padahal, Ibadah berasal dari kata Abudah, merupakan tindakan, karya. Pengabdian dalam bentuk paling konkrit,” jelasnya.
Baca: Jokowi dan Agenda Negara Syariat Islam
Yesus bahkan memberi jaminan terhadap orang yang melakukan ibadah (bukan tefilla) yang masuk beroleh hidup yang kekal (lihat Matius 25: 31-46).
“Sekali lagi, bukan tefilla, tetapi Abudah yang menjamin dan memastikan kehidupan kekal. Bukan berarti tefilla tidak penting. Perjumpaan dalam bentuk ritus sangat bermakna untuk memberi penguatan spiritual. Tetapi sekali lagi, tefilla bukan jalan raya keselamatan,” jelasnya.
“Bila perdebatan menyangkut tefilla ini mengharubiru di dalam jemaat, dan terutama para pendeta, mari kembali belajar bersama. Karena tefilla itu dimulai di rumah, bersama keluarga,” pungkas mantan Ketua Umum DPP Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo) ini.