Gubernur adalah Pengabdian, Bukan Lowongan Pekerjaan, Jenderal!
- BENTENGTIMES.com - Senin, 25 Jun 2018 - 15:41 WIB
- dibaca 1.089 kali
Catatan: Partoba Pangaribuan
MEDAN, BENTENGTRIMES.com – Kita semua tau bahwa setiap prajurit TNI bukan saja harus memahami arti kedaulatan. Tapi lebih dari itu, TNI bahkan menjadi ‘pemeran utama’ dalam menjaga kedaulatan itu sendiri.
Sebagai abdi negara, keutuhan negeri ini harus dijaga termasuk wilayah teritorinya. Kedaulatan bangsa ini harus dipertahankan dalam kemasan nasionalisme yang kuat untuk mewujudkan stabilitas nasional.
Bukankah dalam doktrin TNI bahwa keutuhan bangsa Indonesia ini adalah harga mati yang tak bisa ditawar? Bahkan setiap jengkal tanah di setiap ujung negeri ini pun wajib dipertahankan walau harus meneteskan darah.
Seorang prajurit TNI harus siap ditugaskan di tapal batas manapun di sisi terluar tanah air ini untuk mempertahankan dan menjaga keutuhan tanah air ini secara fisik. Setiap prajurit harus selalu siap siaga kapan saja ditugaskan ke daerah manapun di negeri ini, walau harus meninggalkan keluarga nun jauh di daerah asalnya.
Seorang putra bangsa yang lahir di wilayah paling barat Indonesia sekalipun, seperti Aceh misalnya, harus siap ditugaskan walau jauh ke ujung timur Indonesia, seperti Merauke. Begitu juga sebaliknya.
Jadi, tidak ada alasan apapun untuk menolak tugas negara, apalagi seorang abdi negara. Bahkan warga sipil pun harus siap mengabdi untuk negara jika diperlukan menjadi wajib militer jika bangsa ini sedang terancam dari rongrongan bangsa lain.
Karena dalam undang-undang, hak dan kewajiban setiap warga negara sudah diatur secara konstitusional. Ada kewajiban-kewajiban yang memang harus dilakukan sebagai warga negara. Dan tentunya ada hak-hak yang diberikan oleh negara untuk setiap warga negara. Mulai hak asasi hingga hak politik diatur dalam undang-undang.
Jika seorang prajurit TNI yang seorang putra daerah Aceh wajib dan siap ditugaskan oleh negara untuk bertugas di Merauke. Lalu bagaimana dalam konteks pengelolaan suatu daerah tingkat kabupaten atau provinsi? Apakah hal ini diatur dalam undang-undang?
Misalnya bolehkah putra daerah yang berasal dari Serambi Mekkah (baca: lahir di Aceh) menjadi Gubernur di Sumatera Utara walau tercatat ‘ber-KTP’ (berdomisili) di DKI? Tentu sangat boleh.
Setiap warga negara memiliki hak politik. Tidak ada aturan yang melarang seseorang menjadi kepala daerah di manapun di negeri ini (walau bukan daerah asal usulnya) selama dia dipercaya dan dipilih warganya secara konstitusi melalui pesta demokrasi untuk memimpin dan mengelola daerah tersebut.
Tentunya dengan syarat-syarat atau kriteria yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara pesta demokrasi tersebut. Pastinya juga bahwa turunan aturan hingga per sub pasal secara empiris adalah pasal-pasal turunan dari UUD yang ditetapkan oleh para anggota DPR-RI yang dipilih langsung oleh rakyat.