Muhasabah Kebangsaan: Obral Surga dengan Teologi Kebencian
- BENTENGTIMES.com - Minggu, 20 Mei 2018 - 20:13 WIB
- dibaca 896 kali
Teologi kebencian inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya teroris. Ini terjadi karena ukuran keimanan seseorang hanya dilihat dari sejauh mana dia bisa membenci dan menghancurkan kelompok lain yang dianggap kafir.
Semakin mereka bisa membenci orang kafir, yaitu orang yang berbeda keyakinan dengan mereka, maka akan semakin dianggap kaffah Islamnya.
Yang lebih parah adalah munculnya keyakinan, semakin banyak mengorbankan nyawa orang kafir akan semakin dekat dengan surga. Siapa yang berani mengorbankan nyawa akan semakin cepat mendapatkan surga. Di sini seolah-olah surga harus dibeli dengan nyawa dan spirit kebencian.
Virus teologi kebencian ini sama bahayanya dengan narkoba karena sama-sama memiliki daya rusak yang dahsyat, baik secara individual maupun sosial. Manusia yang terpapar virus ini akan kehilangan akal sehat dan nurani.
Mereka bisa menjadi mesin pembunuh yang tega melakukan apa saja demi memperoleh kenikmatan surga yang dijanjikan. Ini seperti orang yang kecanduan narkoba yang tega melakukan apa saja demi memperoleh kenikmatan narkoba.
Sebagaimana narkoba, virus teologi kebencian ini bisa menyerang siapa saja dan dari kelas sosial apa saja. Tidak hanya kelas bawah dengan ekonomi lemah, tetapi juga kelas menengah atas dengan derajat pendidikan tinggi bahkan kelas eksekutif yang sudah mapan secara ekonomi.
Setinggi apapun pendidikan dan secerdas apapun akal, jika sudah terkena virus ini semua akan lumpuh dan hancur. Menjadi manusia yang hilang akal dan tuna rasa. Jika narkoba lebih banyak menyerang kaum non agamis, virus ini justru mudah masuk di kalangan agamis dan bisa menembus kalangan non agamis.
Virus ini jelas lebih berbahaya dari narkoba, karena penyebarannya lebih massif. Kalau bandar narkoba, melakukan penyebaran secara sembunyi karena dia menjadi musuh semua orang. Tapi penyebaran virus teologi kebencian dilakukan secara terbuka dan agresif.
Ini terjadi karena mereka menggunakan topeng agama, sehingga yang melawan dan melarang akan dengan mudah dicap sebagai penentang agama, kriminalisasi ulama dan sejenisnya.
Inilah yang membuat aparat gamang menindak mereka dan masyarakat awam jengah menghadapi ulah para agen dan ‘distributor’ teologi kebencian ini.
Melihat dahsyatnya daya rusak virus teologi kebencian dan maraknya penyebarannya yang massif, maka perlu ada kesadaran semua pihak dan seluruh warga bangsa untuk menganggap virus ini sebagai musuh bersama dan bertindak secara tegas untuk memberantasnya.
Jika tidak demikian, bukan tidak mungkin kita sudah berada di antrean menunggu giliran menjadi korban berikutnya.
Penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.