SAYA salah satu orang yang sepakat bahwa alas kaki juga menggambarkan karakter si pemakainya. Itu sebabnya saat hendak membeli sepatu atau pun sandal di pasar, lebih klop rasanya jika saya sendiri yang memilihnya. Kategorinya yang nyaman dipakai, modelnya gaul, dan cukup berkualitas biar tahan lama.
Sandal sendiri konon diciptakan oleh orang Jepang. Dan saat ini ada satu jenis yang modelnya tak lekang oleh jaman. Yaitu sandal jepit hitam putih bertali karet “V”, Anda pasti tahu. Bentuknya simple sangat nyaman di kaki, ringan, dan harganya murah meriah. Sandal jenis ini pun tahan cuaca dan segala medan.
Akhir tahun 2017 lalu, publik sempat heboh saat Presiden RI Joko Widodo berlibur di Pulau Dewata dengan mengenakan sandal jepit. Media pun banyak yang mengangkat angle berita dari alas kaki berwarna ungu tersebut. Pesannya Jokowi sebagai kepala negara sangat merakyat dengan kaki bersandal jepit. Pemandangan itu memang langka di negeri yang sebagian besar pemimpinnya, termasuk di daerah, masih senang menunjukkan ekslusifitas.
Di pesisir pantai barat Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Tapanuli Tengah, sebenarnya ada seorang kepala daerah yang tak asing dengan sandal jepit. Namanya Bakhtiar Ahmad Sibarani. Usianya masih sangat muda. Putra daerah kelahiran kota tua Barus, 2 November 1984. Dia mencalon bupati dengan melepas kursi Ketua DPRD Tapanuli Tengah yang tengah didudukinya. Bersama wakilnya, Darwin Sitompul, keduanya memenangi pilkada dan dilantik pada 22 Mei 2017.
Sekilas balik, sebelum berkecimpung di pentas politik, sosok Bakhtiar dikenal sebagai aktifis yang vokal. Saat itu dia sering memprotes kebijakan pemerintah daerah yang dianggapnya tidak berpihak kepada masyarakat. Gaya bicaranya blak-blakan. Gerak tubuhnya lincah dan energik. Sepak terjangnya di dunia aktifis itu rupanya bisa mengantarkannya ke gedung parlemen. Seiring debutnya sebagai wakil rakyat, dia juga merintis usaha penyedia jasa truk angkutan bagi perusahaan swasta di daerah tersebut.
Kembali lagi. Tadinya banyak orang yang ragu apakah anak muda yang satu ini mampu memimpin pemerintahan, serta mengambil keputusan dan kebijakan untuk laju pembangunan di kabupaten berjuluk “Negeri Sejuta Pesona” itu?
Di awal kepemimpinannya, Bakhtiar memang belum bisa bicara banyak soal program pembangunan. Sebab APBD TA 2017 sudah setengah jalan saat dia mulai menjabat. Dia hanya menjalankan yang sudah ditetapkan oleh pejabat sebelumnya, sambil melangkah untuk mempersiapkan mesin pendorong laju pembangunan di tahun berikutnya.
Dalam tahap persiapan itulah Bakhtiar banyak turun ke lapangan. Gaya blusukannya menarik diikuti. Salah satunya ia terlihat lebih sering mengenakan sandal jepit saat berada di lokasi, meskipun itu stelen atasnya baju dinas harian. Dan, justru pada saat yang sama para anak buahnya yang memakai sepatu kulit mengkilap.
Bakhtiar lebih suka bertemu langsung dengan masyarakat, berdialog tentang kendala dan persoalan yang sedang dihadapi, lalu disimpulkan dan memutuskan opsi solusinya. Tempatnya pun tidak mengurungkannya, di tepi jalan, di warung kopi, atau di persawahan sekalipun ya monggo.
Setiap aspirasi dan persoalan rakyat, serta fakta di lapangan itu diserapnya untuk kemudian dibawa dan diperjuangkan ke tingkat ibukota dan provinsi. Julukan “si anak ajaib” yang dilekatkan kepadanya saat memutuskan untuk bertarung di pilkada yang lalu sekarang mulai dibuktikannya.
Kemarin, Selasa (6/3/2018), Bupati Bakhtiar membeberkan sederet program pembangunan Tapanuli Tengah yang akan bergulir di 2018, khususnya tentang kucuran dana untuk pembangunan fisik yang meningkat signifikan dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Kalau ditotal semuanya mencapai Rp290 miliar. Di antaranya berasal dari dana alokasi khusus (DAK), dana alokasi umum (DAU), dan dana bantuan keuangan provinsi (BKP). Ditambah lagi siraman dana desa untuk Tapanuli Tengah yang mencapai Rp120 miliar.
Sandal jepit itu menjadi simbol karakternya yang menarik dalam kesederhanaan dan bermanfaat bagi rakyatnya. Bukan karena seberapa mahalnya harga sebuah alas kaki, tapi Bakhtiar tidak mau menjadi yang paling ekslusif sebagai seorang bupati. Semoga kekuasaan dan kesuksesan yang dicapainya itu tetap membuatnya merunduk. (*)
Catatan Marihot Simamora, seorang penggiat jurnalistik yang berdomisili di Kota Sibolga.