Sambil senyum-senyum saya membaca keluh kesah kawan-kawan saya. Meski hidupnya enak, rumah besar, ada mobil, pesta pernikahan anaknya wah, bahkan ada yang memelihara hewan-hewan mahal, tetapi tak semua merasa makin kaya.
Perhatian saya justru pada teman-teman yang ‘merasa makin miskin.’ Well, tak ada yang mengatakan kini kehidupan jauh lebih enak. Namun, ada konsekuensi dari keinginan kita yang menuntut perubahan, apalagi ini era disrupsi.
Di sisi lain, saat tatanan ekonomi dunia chaos, selalu ada energi besar yang memicu kreativitas, bahkan mencuri kemenangan. Persis seperti tim Indonesia dalam Asian Games 2018 ini. Sometimes you win and sometimes you learn.
Kembali ke kawan-kawan tadi. Dalam WA grup. Sama seperti Anda, kami juga membahas segala ‘kesulitan’.
Tapi belakangan saya sering bertanya, orang kaya, kok merasa hidupnya susah?
Suka Mengatasnamakan Rakyat
Akhirnya, saya mulai sungguhan melakukan riset. Persis seperti waktu kuliah S-3. Saya kelompokkan mereka berdasarkan tempat tinggal dan simbol-simbol kekayaan yang mereka pamerkan.
Saya juga menelisik apakah mereka punya ‘calling‘ sosial atau tidak, semisal kontribusi dalam pendidikan, kesehatan, atau pembinaan anak-anak muda yang motifnya bukan kekuasaan atau kelompok identitas, melainkan yang altruistik, dengan ketulusan.
Saya lakukan analytics kata-kata kunci yang sering sekali mereka ucapkan. Memakai semacam big data.
Ternyata kata-kata negatif, benci pada keadaan, justru banyak dikeluarkan oleh mereka yang hidupnya, maaf, kering-kerontang atau yang terbiasa mengedepankan identitas kelompok.
Padahal, sekali lagi, mereka tidak miskin. Sayangnya, mereka juga mudah dihasut kebencian. Padahal, Tuhan sudah pernah memberi kesempatan sebagian mereka untuk berkuasa menjadi pejabat atau pemimpin.
Dan yang lebih menarik lagi, mereka yang merasa hidupnya tambah susah itu, selalu terkait dengan kata ‘rakyat’. Maksud saya, mereka sering sekali mengatasnamakan rakyat. ‘Rakyat hidup semakin sulit’, ‘harga-harga yang harus dibayar rakyat terus melambung’, ‘daya beli turun’. Dan akhirnya ‘Rakyat di desa hidup merana, pekerjaan sulit’.
(Baca: Dolar AS Sempat Tembus Rp14.500, Menko Perekonomian: Tidak Bahaya)
(Baca: Djarot: Perluasan Pelabuhan Peti Kemas di Belawan Momen Bangkitnya Ekonomi Sumut)
Mereka membuat rakyat merasa lebih susah. Padahal, rakyat yang dimaksud itu harus diajarkan keluar dari perangkap kepindahan (the great shifting), supaya usahanya kembali pulih dan ekonomi tumbuh lebih tinggi lagi.
Setiap kali melihat ‘rakyat susah’, mereka ikut susah, tetapi hatinya tak tergerak sama sekali untuk mengulurkan bantuan, selain kata-kata.
Sementara teman-teman saya yang justru berjiwa sosial, tidak sekalipun mengatasnamakan rakyat.
Hartanya Naik
Pergunjingan pun beralih ke soal harta. Sebab sewaktu nilai rupiah terdesak, kawan-kawan saya yang merasa susah itu menawarkan asetnya untuk dijual.
Ya rumah, apartemen, tanah, bahkan barang-barang tertentu.
Sama seperti Anda, saya berpikir mereka sedang butuh uang (BU). “Pasti harganya turun.”
Ternyata, mereka berkata lain. “Tidak dong. dollar naik, harga tanah dan bangunan juga naik dong.”
Ternyata mereka tidak sedang BU, tetapi mencari keuntungan juga.
Saya semakin terkesima saat membaca Twitter yang dikirim seorang anak muda tentang besarnya kekayaan calon-calon presiden dan wakil presiden.
Ternyata sama saja.
Besar harta mereka setahun terakhir ini naik fantastis. Tetapi dalam pernyataannya, mereka selalu mengatasnamakan rakyat dan merasa hidup di sini semakin susah. “Rada ngga nyambung,” sergah anak muda yang menulis itu di Twiter.
The Empty Raincoat
Hampir 20 tahun lalu, saat dunia mulai mengenal internet, Prof Charles Handy mengajak kita ‘making sense of the future’. Ya, mengendus masa depan.
Ia menyebut fenomena ini sebagai the empty raincoat. Sebuah perasaan yang berbeda dengan realitas yang ada.
Wajar bahwa orang-orang bingung, selalu membuat kebingungan.
Kalau mereka tak kontrol mulutnya dan kebijaksanaan tak datang menemui hari tuanya, maka kesusahan akan menjadi sahabat teman-teman dan bangsanya.
Sesungguhnya, orang yang banyak mengeluh adalah orang yang dikeluhkan teman-temannya.
Ini disindir Handy dalam Paradox of Riches. Tentu orang yang semakin kaya (secara ekonomi) merasa lebih punya kontrol dan maunya lebih dan lebih banyak lagi. Tetapi celakanya, ada semakin banyak harta yang tak bisa dimiliki orang berada pada harga berapa pun.
Ekonom menyebut hal itu sebagai public goods dan untuk menikmatinya kita harus berbagi tempat (sharing space) dengan orang lain.
Anda bisa membeli mobil, tapi jalanannya harus berbagi dengan orang lain. Ketika perekonomian membaik dan daya beli naik, semua orang bisa memilikinya.
(Baca: DPD RI Minta Penguatan Hubungan Ekonomi Sumut dan Jatim)
(Baca: Asyik! Kereta Api Mewah Harga Ekonomi Beroperasi di Medan)
Kini, Anda harus berbagi kemacetan, bahkan ada kalanya tak bisa dipakai karena aturan ganjil-genap. Anda tak bisa membeli kelancaran lalu lintas berapa pun besarnya uang Anda selain berbagi hari dan mau diatur. Udara dan air bersih, lingkungan yang aman, politik yang menenteramkan, masyarakat yang tidak pemarah, dan seterusnya juga sama saja.
Paradox of Poverty
Kini, teknologi semakin memudahkan. Bekerja dari rumah misalnya.
Dulu, keduanya dibentangkan oleh jarak dan waktu. Jadi banyak yang bisa diselesaikan dengan waktu yang lebih sedikit (working less time).
Tetapi, kini ada tuntutan untuk bekerja serba cepat. Bekerja dari rumah berarti tak punya waktu juga karena begitu banyak yang harus dan bisa dikerjakan.
Pusing, bukan?
Tetapi, masih ada yang lebih paradox. Ini soal bagaimana kaum superkaya memaknai arti kemiskinan? Maksud saya, kalau tak pernah hidup melarat lalu ujug-ujug bisa menjadi presiden atau wakilnya, benarkah mampu membuat program yang meaningful untuk memberantas kemiskinan?
Saya beri contoh saja Donald Trump yang superkaya itu. Sama seperti politisi-politisi kaya Indonesia yang menjual kemelaratan (poverty) dan ‘penderitaan rakyat’ sewaktu kampanye, Trump membekukan Obama Care yang pro poor.
Tetapi di lain pihak, Trump justru mengusir para imigran miskin dan menurunkan pajak perusahaan-perusahaan besar dari 35 persen menjadi 21 persen.
Saya semakin tertegun ketika membaca buku Homo Deus yang ditulis profesor Yuval Noah Harari: A Brief History of Tomorrow.
Ia mengingatkan: ‘Saat negara-negara terfokus mengentaskan kemiskinan, kita menemukan pembunuh terbesar umat manusia. Bukan lagi kurang gizi, penyakit menular atau terorisme, melainkan gula.
Ada paradoks antara eating too little (yang mengakibatkan kurang gizi) vs eating too much (yang mengakibatkan diabetes dan obesitas). Science telah turut mengatasi banyak masalah kaum papa.
Di Indonesia, dengan program dana desa yang generous kita menyaksikan telah ada lebih dari 100.000 km jalan desa. Penyakit-penyakit menular pun cepat diberantas.
Tetapi, tiga pembunuh terbesar manusia Indonesia menurut survei yang dilakukan oleh Balitbangkes (Sample Registration Survey) adalah diabetes, stroke, dan penyakit jantung.
Ketiganya, konon banyak diderita kelompok kaya. Bukan kaum miskin.
Di sisi lain, ditemukan realitas bahwa komplain besar terhadap layanan BPJS Kesehatan, ternyata bukan dari kaum miskin, melainkan kelas menengah yang malas bayar iuran. Mereka lebih mengedepankan hak ketimbang kewajibannya.
Bisa dibayangkan, masa depan layanan yang generous ini kalau kelak negara dipimpin orang kaya seperti Trump.
(Baca: Hore, Pengangkatan PNS 100 Ribu Guru Honorer Disetujui Pemerintah)
(Baca: Utang Malaysia Lebih Kecil Dibanding Indonesia, tapi Terancam Bangkrut, Ini Alasannya)
Begitulah kita menyaksikan sebagian orang-orang kaya yang merasa hidupnya semakin sulit. Mereka komplain apa saja, mulai dari ganjil-genap, jalan yang jauh di bandara, parkir yang padat, demo yang dilarang, sampai tadi itu: kok hidup jadi lebih susah?