Ini Tentang Orang-orang Kaya Yang Mengaku Hidupnya Makin Sulit

Share this:
BMG
Rhenald Kasali Guru Besar Manajemen Akademisi dan Praktisi Bisnis yang juga Guru Besar Bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI). Sejumlah buku telah dituliskannya, antara lain: Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007).

Paradox of Poverty

Kini, teknologi semakin memudahkan. Bekerja dari rumah misalnya.

Dulu, keduanya dibentangkan oleh jarak dan waktu. Jadi banyak yang bisa diselesaikan dengan waktu yang lebih sedikit (working less time).

Tetapi, kini ada tuntutan untuk bekerja serba cepat. Bekerja dari rumah berarti tak punya waktu juga karena begitu banyak yang harus dan bisa dikerjakan.

Pusing, bukan?

Tetapi, masih ada yang lebih paradox. Ini soal bagaimana kaum superkaya memaknai arti kemiskinan? Maksud saya, kalau tak pernah hidup melarat lalu ujug-ujug bisa menjadi presiden atau wakilnya, benarkah mampu membuat program yang meaningful untuk memberantas kemiskinan?

Saya beri contoh saja Donald Trump yang superkaya itu. Sama seperti politisi-politisi kaya Indonesia yang menjual kemelaratan (poverty) dan ‘penderitaan rakyat’ sewaktu kampanye, Trump membekukan Obama Care yang pro poor.

Tetapi di lain pihak, Trump justru mengusir para imigran miskin dan menurunkan pajak perusahaan-perusahaan besar dari 35 persen menjadi 21 persen.

Saya semakin tertegun ketika membaca buku Homo Deus yang ditulis profesor Yuval Noah Harari: A Brief History of Tomorrow.

Ia mengingatkan: ‘Saat negara-negara terfokus mengentaskan kemiskinan, kita menemukan pembunuh terbesar umat manusia. Bukan lagi kurang gizi, penyakit menular atau terorisme, melainkan gula.

Ada paradoks antara eating too little (yang mengakibatkan kurang gizi) vs eating too much (yang mengakibatkan diabetes dan obesitas). Science telah turut mengatasi banyak masalah kaum papa.

Di Indonesia, dengan program dana desa yang generous kita menyaksikan telah ada lebih dari 100.000 km jalan desa. Penyakit-penyakit menular pun cepat diberantas.

Tetapi, tiga pembunuh terbesar manusia Indonesia menurut survei yang dilakukan oleh Balitbangkes (Sample Registration Survey) adalah diabetes, stroke, dan penyakit jantung.

Ketiganya, konon banyak diderita kelompok kaya. Bukan kaum miskin.

Di sisi lain, ditemukan realitas bahwa komplain besar terhadap layanan BPJS Kesehatan, ternyata bukan dari kaum miskin, melainkan kelas menengah yang malas bayar iuran. Mereka lebih mengedepankan hak ketimbang kewajibannya.

Bisa dibayangkan, masa depan layanan yang generous ini kalau kelak negara dipimpin orang kaya seperti Trump.

(Baca: Hore, Pengangkatan PNS 100 Ribu Guru Honorer Disetujui Pemerintah)

(Baca: Utang Malaysia Lebih Kecil Dibanding Indonesia, tapi Terancam Bangkrut, Ini Alasannya)

Begitulah kita menyaksikan sebagian orang-orang kaya yang merasa hidupnya semakin sulit. Mereka komplain apa saja, mulai dari ganjil-genap, jalan yang jauh di bandara, parkir yang padat, demo yang dilarang, sampai tadi itu: kok hidup jadi lebih susah?

Share this: